BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra
merupakan karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahan sastra
adalah bahasa yang memiliki arti. Bahasa memiliki kedudukan dalam hubungannya
dengan sastra, mempunyai sistem dan ko nvensi sendiri.
Sastra
menggambarkan kehidupan pada saat sastra itu ditulis. Sasra mengandung
nilai-nilai kehidupan seperti nilai-nilai sosial, moral, religi, bahkan
ideologi. Karya sastra akan memiliki daya pikat yang luar biasa bagi pembaca
jika karya satra itu diciptakan dengan luar biasa pula, bagaimana pengarang
melibatkan aspek kehidupan di dalamnya, mampu menuangkan imajinasinya yang
dapat membawa pembaca ikut masuk dalam imajinasinya.
Horace
mengemukakan fungsi karya sastra sebagai dulce
et utile, yaitu sebagai penghibur dan berguna[1].
Karya sastra memang menghibur, namun tidak hanya sekedar menghibur dan untuk
hiburan semata tanpa ada manfaat yang dapat diraih. Untuk itu karya sastra juga
dikatakan berguna. Banyak hal yang bisa didapat dari cerita-cerita yang
dituangkan, dan dari berbagai aspek di dalamnya.
Setiap
manusia merupakan individu yang berbeda dengan individu lainnya. Ia mempunyai
watak, temperamen, pengalaman, pandangan dan perasaan sendiri yang berbeda
dengan lainnya. Namun demikian, manusia hidup tidak lepas dari manusia lain.
Pertemuan antarmanusia yang satu dengan manusia yang lain tidak jarang
menimbulkan konflik, baik konflik antara individu, kelompok maupun anggota
kelompok serta antara anggota kelompok yang satu dan anggota kelompok lain.
Karena sangat kompleksnya, manusia juga sering mengalami konflik dalam dirinya
atau konflik batin sebagai reaksi terhadap situasi sosial di lingkungannya.
Dengan kata lain, manusia selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup.
Kejadian atau peristiwa yang terdapat
dalam karya sastra dihidupkan oleh tokoh-tokoh sebagai pemegang peran atau
pelaku alur. Melalui perilaku tokoh-tokoh yang ditampilkan inilah seorang
pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan problem-problem atau
konflik-konflik yang dihadapinya, baik konflik dengan orang lain, konflik dengan
lingkungan, maupun konflik dengan dirinya sendiri.
Karya sastra
yang dihasilkan sastrawan selalu menampilkan tokoh yang memiliki karakter
sehingga karya sastra juga menggambarkan kejiwaan manusia, walaupun pengarang
hanya menampilkan tokoh itu secara fiksi. Dengan kenyataan tersebut, karya
sastra selalu terlibat dalam segala aspek hidup dan kehidupan, tidak terkecuali
ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan dualisme yang
menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas jiwa dan raga.
Adapun dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A Navis,
banyak nilai yang diruangkan di dalamnya, dari aspek religiusitas, sosial,
konflik, bahkan aspek psikologis. Dalam penelitian ini, peneliti memilih aspek
psikologis dalam cerpen Robohnya Surau
Kami, aspek psikologis yang dibahas yaitu mengenai konflik psikis tokoh
Kakek, bagaimana penggambaran tokoh kakek yang awalnya sebagai garin[2]
yang taat beribadah, merasa tabah dan tegar, hingga pada akhirnya memilih untuk
mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis, dengan cara bunuh diri.
Dalam psikologi, perilaku atau
tindakan bunuh diri dilakukan karena keinginan kuat untuk lari dari kesadaran
diri yang menyakitkan atas kegagalan dan kurangnya keberhasilan yang
didistribusikan orang yang bersangkutan pada dirinya.[3]
Hal ini pula yang dilakukan tokoh Kakek, bunuh diri karena merasa ada
ketidakberhasilan dalam dirinya selama ini, berusaha menjadi seorang ahli
ibadah namun merasa sia-sia dan akan menjadi umpan neraka kelak.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Bagaimana sosok A.A Navis sebagai penulis cerpen Robohnya Surau Kami?
b.
Bagaimana unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami?
c.
Bagaimana konflik psikis yang dialami tokoh Kakek
dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya?
1.3 Tujuan
a.
Mendeskripsikan sosok A.A Navis sebagai penulis cerpen
Robohnya Surau Kami
b.
Mendeskripsikan unsur intrinsik dalam cerpen Robohnya Surau Kami
c.
Mendeskripsikan konflik psikis yang dialami tokoh
Kakek dalam cerpen Robohnya Surau Kami.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi
A.A Navis
A.A Navis lahir di Padang 17 November 1924 Padang Panjang, Sumatera
Barat. A.A Navis memulai pendidikan formalnya di Sekolah Indonesisch Nederiandsch
School (INS) Kayutanam selama 11 tahun. Nama lengkapnya adalah Ali Akbar Navis. Ia
pernah menjadi kepala bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera
Tengah di Bukit Tinggi (1952-1955), Pemimpin redaksi harian Semangat di Padang (1971-1982), dan
menjadi Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam.
Navis memulai kariernya sebagai penulis ketika usia tiga puluhan.
Awalnya ia sudah aktif menulis sejak tahun 1950, namun kepenulisannya baru
diakui pada tahun 1955 sejak cerpennya dimuat dalam beberapa majalah; Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan, Roman. Navis juga menulis naskah
sandiwara untuk beberapa stasiun RRI, seperti di Bukit Tinggi, Palembang, juga
Makassar.
Navis dikenal sebagai sastrawan yang minatnya terhadap masalah-masalah
keagamaan, dan cenderung pada segi-segi sosial dan moral. Karyanya yang
terkenal yaitu cerpen Robohnya Surau Kami,
dan dijadikan judul untuk buku kumpulan cerpennya (1956). Kumpulan karyanya
yang lain yaitu cerpen Hujan Panas
(1964), Bianglala (1963), Kemarau (1967), si Gadis dalam Sunyi (1970), Dermaga
dalam Empat Sekoci (1975), Di
Lintasan Mendung (1983), Alam
Terkembang jadi Guru (1984), dan Jodoh
(1998).
Banyak penghargaan yang diraihnya, antara lain: Hadiah Seni dari Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988), Lencana Kebudayaan dari Universitas
Andalas Padang (1989), Lencana Jasawan di Bidang Seni dan Budaya dari Gubernur
Sumatera Barat (1990), Hadiah Sastra dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(1992), Hadiah Sastra ASEAN/SEA Write Award (1994), Anugerah Buku Utama dari UNESCO/IKAPI (1999),
dan Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
2.2 Sinopsis
Robohnya Surau Kami
Robohnya urau Kami mengisahkan
tentang seorang kakek sebagai garin
di sebuah surau yang senantiasa melakukan ibadah dan mendekatkan diri pada
Allah, sampai-sampai, ia rela meninggalkan keluarga juga pekerjaannya demi
keinginannya untuk mencapai kesempurnaan beribadah dan dapat jaminan masuk
surga. Namun, pada suatu hari sang kakek membuat geger warga karena ditemukan
telah meninggal dengan keadaan yang sangat mengenaskan.
Tidak ada yang menduga akan hal itu, kejadian itu pun dikaitkan dengan
perlakuan Ajo Sidi pada kakek sebelum kakek meninggal. Karena cerita bualan Ajo
Sidi maka kakek meninggal, meninggal dengan kondisi mengenaskan dengan gorokan
di lehernya, meninggal karena bunuh diri.
Cerita bualan seperti apa yang membuat jiwa kakek tergoncang hingga
akhirnya sang kakek memutuskan untuk mengakhiri hidupnya? Dan benarkah Ajo Sidi
yang menjadi penyebab utama atas cerita bualannya itu? Cerita bualannya yaitu
penggambaran akhirat dimana ada seorang warga negara Indonesia bernama Haji
Saleh yang sedang diadili oleh Tuhan. Haji Saleh selama hidupnya hanya
beribadah dan beribadah namun bukan surga imbalannya selama ini, melainkan
mendapati tempat terakhir di neraka.
Dalam dialognya dengan Tuhan, Haji Saleh senantiasa menyatakan bahwa
dirinya selalu beribadah, memuji kebesaran-Nya, bahkan sampai rela meninggalkan
keluarga dan tiak bekerja demi beribadat pada Allah. Namun, Tuhan memberikan
pernyataan bahwa apa yng dilakukannya selama ini sama sekali tidak ada guna
atau sia-sia. Lantaran yang dilakukan hanya beribadah semata tanpa mengamalkan
perbuatan lain yang memang wajib pula untuk dijalankan.
Dari cerita itu, Kakek merasa cerita itu merupakan bentuk sindiran dan
merasa bahwa apa yang dialami Haji Saleh akan menimpa dirinya juga, karena apa
yang dilakukan kakek selama ini sama dengan yang dilakukan Haji saleh. Oleh
sebab itu, jiwa kakek jai terguncang dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya
alias bunuh diri.
2.3 Unsur
Intrinsik Cerpen Robohnya Surau Kami
2.3.1 Tema
Tema (themes) menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966:88) adalah makna
yang terkandung oleh sebuah cerita. Jadi, maksudnya adalah inti dari isi
cerita, menceritakan akan hal apa dan bagaimana fokus kisah yang disajikan.[4]
Tema
dalam cerita ini ialah tentang permasalahan kejiwaan atau konflik batin seorang
kakek garin sebuah surau setelah
mendengar bualan Ajo sidi. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Tidak,
kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu
sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar
kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal
engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan
mereka sedikitpun.”[5]
Dalam kutipan tersebut merupakan salah satu kutipan
dari cerita bualan Ajo Sidi yang dalam ceritanya menggambarkan dialog antara
Tuhan dan Hamba-Nya, Haji Saleh, yang sedang diadili untuk ditentukan antara
masuk surga atau neraka. Hal itu membuat terguncangnya jiwa kakek karena apa
yang diceritakan sama dengan kenyataan yang ada pada dirinya.
2.3.2
Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pemain atau lakon
dalam suatu cerita. Dilihat dari segi peranan, ada yang disebut sebagai tokoh
utama, yaitu tokoh yang tergolong penting dan mendominasi dalam cerita atau
karya sastra. Ada pultokoh tambahan, yaitu sebaliknya dari tokoh utama.