Jumat, 01 Maret 2013

KONFLIK PSIKIS TOKOH KAKEK DALAM CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI KARYA A.A NAVIS


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
           Sastra merupakan karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahan sastra adalah bahasa yang memiliki arti. Bahasa memiliki kedudukan dalam hubungannya dengan sastra, mempunyai sistem dan ko nvensi sendiri.
           Sastra menggambarkan kehidupan pada saat sastra itu ditulis. Sasra mengandung nilai-nilai kehidupan seperti nilai-nilai sosial, moral, religi, bahkan ideologi. Karya sastra akan memiliki daya pikat yang luar biasa bagi pembaca jika karya satra itu diciptakan dengan luar biasa pula, bagaimana pengarang melibatkan aspek kehidupan di dalamnya, mampu menuangkan imajinasinya yang dapat membawa pembaca ikut masuk dalam imajinasinya.
           Horace mengemukakan fungsi karya sastra sebagai dulce et utile, yaitu sebagai penghibur dan berguna[1]. Karya sastra memang menghibur, namun tidak hanya sekedar menghibur dan untuk hiburan semata tanpa ada manfaat yang dapat diraih. Untuk itu karya sastra juga dikatakan berguna. Banyak hal yang bisa didapat dari cerita-cerita yang dituangkan, dan dari berbagai aspek di dalamnya.
           Setiap manusia merupakan individu yang berbeda dengan individu lainnya. Ia mempunyai watak, temperamen, pengalaman, pandangan dan perasaan sendiri yang berbeda dengan lainnya. Namun demikian, manusia hidup tidak lepas dari manusia lain. Pertemuan antarmanusia yang satu dengan manusia yang lain tidak jarang menimbulkan konflik, baik konflik antara individu, kelompok maupun anggota kelompok serta antara anggota kelompok yang satu dan anggota kelompok lain. Karena sangat kompleksnya, manusia juga sering mengalami konflik dalam dirinya atau konflik batin sebagai reaksi terhadap situasi sosial di lingkungannya. Dengan kata lain, manusia selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup.
           Kejadian atau peristiwa yang terdapat dalam karya sastra dihidupkan oleh tokoh-tokoh sebagai pemegang peran atau pelaku alur. Melalui perilaku tokoh-tokoh yang ditampilkan inilah seorang pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan problem-problem atau konflik-konflik yang dihadapinya, baik konflik dengan orang lain, konflik dengan lingkungan, maupun konflik dengan dirinya sendiri.
           Karya sastra yang dihasilkan sastrawan selalu menampilkan tokoh yang memiliki karakter sehingga karya sastra juga menggambarkan kejiwaan manusia, walaupun pengarang hanya menampilkan tokoh itu secara fiksi. Dengan kenyataan tersebut, karya sastra selalu terlibat dalam segala aspek hidup dan kehidupan, tidak terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan dualisme yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas jiwa dan raga.
           Adapun dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A Navis, banyak nilai yang diruangkan di dalamnya, dari aspek religiusitas, sosial, konflik, bahkan aspek psikologis. Dalam penelitian ini, peneliti memilih aspek psikologis dalam cerpen Robohnya Surau Kami, aspek psikologis yang dibahas yaitu mengenai konflik psikis tokoh Kakek, bagaimana penggambaran tokoh kakek yang awalnya sebagai garin[2] yang taat beribadah, merasa tabah dan tegar, hingga pada akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis, dengan cara bunuh diri.
           Dalam psikologi, perilaku atau tindakan bunuh diri dilakukan karena keinginan kuat untuk lari dari kesadaran diri yang menyakitkan atas kegagalan dan kurangnya keberhasilan yang didistribusikan orang yang bersangkutan pada dirinya.[3] Hal ini pula yang dilakukan tokoh Kakek, bunuh diri karena merasa ada ketidakberhasilan dalam dirinya selama ini, berusaha menjadi seorang ahli ibadah namun merasa sia-sia dan akan menjadi umpan neraka kelak.
1.2  Rumusan Masalah
a.       Bagaimana sosok A.A Navis sebagai penulis cerpen Robohnya Surau Kami?
b.      Bagaimana unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami?
c.       Bagaimana konflik psikis yang dialami tokoh Kakek dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya?
1.3  Tujuan
a.       Mendeskripsikan sosok A.A Navis sebagai penulis cerpen Robohnya Surau Kami
b.      Mendeskripsikan unsur intrinsik dalam cerpen Robohnya Surau Kami
c.       Mendeskripsikan konflik psikis yang dialami tokoh Kakek dalam cerpen Robohnya Surau Kami.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi A.A Navis
A.A Navis lahir di Padang 17 November 1924 Padang Panjang, Sumatera Barat. A.A Navis memulai pendidikan formalnya di Sekolah Indonesisch Nederiandsch School (INS) Kayutanam selama 11 tahun.  Nama lengkapnya adalah Ali Akbar Navis. Ia pernah menjadi kepala bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Tengah di Bukit Tinggi (1952-1955), Pemimpin redaksi harian Semangat di Padang (1971-1982), dan menjadi Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam.
Navis memulai kariernya sebagai penulis ketika usia tiga puluhan. Awalnya ia sudah aktif menulis sejak tahun 1950, namun kepenulisannya baru diakui pada tahun 1955 sejak cerpennya dimuat dalam beberapa majalah; Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan, Roman. Navis juga menulis naskah sandiwara untuk beberapa stasiun RRI, seperti di Bukit Tinggi, Palembang, juga Makassar.
Navis dikenal sebagai sastrawan yang minatnya terhadap masalah-masalah keagamaan, dan cenderung pada segi-segi sosial dan moral. Karyanya yang terkenal yaitu cerpen Robohnya Surau Kami, dan dijadikan judul untuk buku kumpulan cerpennya (1956). Kumpulan karyanya yang lain yaitu cerpen Hujan Panas (1964), Bianglala (1963), Kemarau (1967), si Gadis dalam Sunyi (1970), Dermaga dalam Empat Sekoci (1975), Di Lintasan Mendung (1983), Alam Terkembang jadi Guru (1984), dan Jodoh (1998).
Banyak penghargaan yang diraihnya, antara lain: Hadiah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988), Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang (1989), Lencana Jasawan di Bidang Seni dan Budaya dari Gubernur Sumatera Barat (1990), Hadiah Sastra dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1992), Hadiah Sastra ASEAN/SEA Write Award (1994),  Anugerah Buku Utama dari UNESCO/IKAPI (1999), dan Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
2.2 Sinopsis Robohnya Surau Kami
Robohnya urau Kami mengisahkan tentang seorang kakek sebagai garin di sebuah surau yang senantiasa melakukan ibadah dan mendekatkan diri pada Allah, sampai-sampai, ia rela meninggalkan keluarga juga pekerjaannya demi keinginannya untuk mencapai kesempurnaan beribadah dan dapat jaminan masuk surga. Namun, pada suatu hari sang kakek membuat geger warga karena ditemukan telah meninggal dengan keadaan yang sangat mengenaskan.
Tidak ada yang menduga akan hal itu, kejadian itu pun dikaitkan dengan perlakuan Ajo Sidi pada kakek sebelum kakek meninggal. Karena cerita bualan Ajo Sidi maka kakek meninggal, meninggal dengan kondisi mengenaskan dengan gorokan di lehernya, meninggal karena bunuh diri.
Cerita bualan seperti apa yang membuat jiwa kakek tergoncang hingga akhirnya sang kakek memutuskan untuk mengakhiri hidupnya? Dan benarkah Ajo Sidi yang menjadi penyebab utama atas cerita bualannya itu? Cerita bualannya yaitu penggambaran akhirat dimana ada seorang warga negara Indonesia bernama Haji Saleh yang sedang diadili oleh Tuhan. Haji Saleh selama hidupnya hanya beribadah dan beribadah namun bukan surga imbalannya selama ini, melainkan mendapati tempat terakhir di neraka.
Dalam dialognya dengan Tuhan, Haji Saleh senantiasa menyatakan bahwa dirinya selalu beribadah, memuji kebesaran-Nya, bahkan sampai rela meninggalkan keluarga dan tiak bekerja demi beribadat pada Allah. Namun, Tuhan memberikan pernyataan bahwa apa yng dilakukannya selama ini sama sekali tidak ada guna atau sia-sia. Lantaran yang dilakukan hanya beribadah semata tanpa mengamalkan perbuatan lain yang memang wajib pula untuk dijalankan.
Dari cerita itu, Kakek merasa cerita itu merupakan bentuk sindiran dan merasa bahwa apa yang dialami Haji Saleh akan menimpa dirinya juga, karena apa yang dilakukan kakek selama ini sama dengan yang dilakukan Haji saleh. Oleh sebab itu, jiwa kakek jai terguncang dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya alias bunuh diri.

2.3 Unsur Intrinsik Cerpen Robohnya Surau Kami
2.3.1 Tema
Tema (themes) menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966:88) adalah makna yang terkandung oleh sebuah cerita. Jadi, maksudnya adalah inti dari isi cerita, menceritakan akan hal apa dan bagaimana fokus kisah yang disajikan.[4]
            Tema dalam cerita ini ialah tentang permasalahan kejiwaan atau konflik batin seorang kakek garin sebuah surau setelah mendengar bualan Ajo sidi. Hal ini terdapat dalam kutipan:
 “Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”[5]
Dalam kutipan tersebut merupakan salah satu kutipan dari cerita bualan Ajo Sidi yang dalam ceritanya menggambarkan dialog antara Tuhan dan Hamba-Nya, Haji Saleh, yang sedang diadili untuk ditentukan antara masuk surga atau neraka. Hal itu membuat terguncangnya jiwa kakek karena apa yang diceritakan sama dengan kenyataan yang ada pada dirinya.
2.3.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pemain atau lakon dalam suatu cerita. Dilihat dari segi peranan, ada yang disebut sebagai tokoh utama, yaitu tokoh yang tergolong penting dan mendominasi dalam cerita atau karya sastra. Ada pultokoh tambahan, yaitu sebaliknya dari tokoh utama.

Ibarat Udara bagi Kehidupan


Sebagaimana udara untuk bernafas, air untuk kehidupan, dan berbagai ciptaan-Nya yang dipersembahkan pada kita untuk kehidupan, merupakan hal yang sangat penting bahkan primer bagi hidup makhluk hidup di muka bumi.
            Perihalnya ilmu, tidak ada satupun manusia yang mampu ‘hidup’ tanpa ilmu. Tampak hidup, tapi sesungguhnya mati, mati hati, mati jiwa atau ruhiyah, mati pikiran, dan mati dari cahaya yang haq. Ibarat udara bagi kehidupan, itulah ilmu. Dalam hal ini ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang membawa manfaat, kebaikan, dan ilmu yang memang diperbolehkan untuk meraihnya. Dalam Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim.”(H.R Ibnu Majah). 
            Bicara soal ilmu tentu cakupannya sangatlah luas terkait dari banyaknya jenis ilmu. Dalam tulisan ini akan dispesifikan, yaitu ilmu agama, ilmu syar’i yang haq. Apa manfaatnya ilmu agama? Pentingkah? Dan wajibkah setiap hamba meraihnya? Singkat jawaban tentu jawabannya “ya, penting dan wajib”.