BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sastra
merupakan karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahan sastra
adalah bahasa yang memiliki arti. Bahasa memiliki kedudukan dalam hubungannya
dengan sastra, mempunyai sistem dan ko nvensi sendiri.
Sastra
menggambarkan kehidupan pada saat sastra itu ditulis. Sasra mengandung
nilai-nilai kehidupan seperti nilai-nilai sosial, moral, religi, bahkan
ideologi. Karya sastra akan memiliki daya pikat yang luar biasa bagi pembaca
jika karya satra itu diciptakan dengan luar biasa pula, bagaimana pengarang
melibatkan aspek kehidupan di dalamnya, mampu menuangkan imajinasinya yang
dapat membawa pembaca ikut masuk dalam imajinasinya.
Horace
mengemukakan fungsi karya sastra sebagai dulce
et utile, yaitu sebagai penghibur dan berguna[1].
Karya sastra memang menghibur, namun tidak hanya sekedar menghibur dan untuk
hiburan semata tanpa ada manfaat yang dapat diraih. Untuk itu karya sastra juga
dikatakan berguna. Banyak hal yang bisa didapat dari cerita-cerita yang
dituangkan, dan dari berbagai aspek di dalamnya.
Setiap
manusia merupakan individu yang berbeda dengan individu lainnya. Ia mempunyai
watak, temperamen, pengalaman, pandangan dan perasaan sendiri yang berbeda
dengan lainnya. Namun demikian, manusia hidup tidak lepas dari manusia lain.
Pertemuan antarmanusia yang satu dengan manusia yang lain tidak jarang
menimbulkan konflik, baik konflik antara individu, kelompok maupun anggota
kelompok serta antara anggota kelompok yang satu dan anggota kelompok lain.
Karena sangat kompleksnya, manusia juga sering mengalami konflik dalam dirinya
atau konflik batin sebagai reaksi terhadap situasi sosial di lingkungannya.
Dengan kata lain, manusia selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup.
Kejadian atau peristiwa yang terdapat
dalam karya sastra dihidupkan oleh tokoh-tokoh sebagai pemegang peran atau
pelaku alur. Melalui perilaku tokoh-tokoh yang ditampilkan inilah seorang
pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan problem-problem atau
konflik-konflik yang dihadapinya, baik konflik dengan orang lain, konflik dengan
lingkungan, maupun konflik dengan dirinya sendiri.
Karya sastra
yang dihasilkan sastrawan selalu menampilkan tokoh yang memiliki karakter
sehingga karya sastra juga menggambarkan kejiwaan manusia, walaupun pengarang
hanya menampilkan tokoh itu secara fiksi. Dengan kenyataan tersebut, karya
sastra selalu terlibat dalam segala aspek hidup dan kehidupan, tidak terkecuali
ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan dualisme yang
menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas jiwa dan raga.
Adapun dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A Navis,
banyak nilai yang diruangkan di dalamnya, dari aspek religiusitas, sosial,
konflik, bahkan aspek psikologis. Dalam penelitian ini, peneliti memilih aspek
psikologis dalam cerpen Robohnya Surau
Kami, aspek psikologis yang dibahas yaitu mengenai konflik psikis tokoh
Kakek, bagaimana penggambaran tokoh kakek yang awalnya sebagai garin[2]
yang taat beribadah, merasa tabah dan tegar, hingga pada akhirnya memilih untuk
mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis, dengan cara bunuh diri.
Dalam psikologi, perilaku atau
tindakan bunuh diri dilakukan karena keinginan kuat untuk lari dari kesadaran
diri yang menyakitkan atas kegagalan dan kurangnya keberhasilan yang
didistribusikan orang yang bersangkutan pada dirinya.[3]
Hal ini pula yang dilakukan tokoh Kakek, bunuh diri karena merasa ada
ketidakberhasilan dalam dirinya selama ini, berusaha menjadi seorang ahli
ibadah namun merasa sia-sia dan akan menjadi umpan neraka kelak.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Bagaimana sosok A.A Navis sebagai penulis cerpen Robohnya Surau Kami?
b.
Bagaimana unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami?
c.
Bagaimana konflik psikis yang dialami tokoh Kakek
dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya?
1.3 Tujuan
a.
Mendeskripsikan sosok A.A Navis sebagai penulis cerpen
Robohnya Surau Kami
b.
Mendeskripsikan unsur intrinsik dalam cerpen Robohnya Surau Kami
c.
Mendeskripsikan konflik psikis yang dialami tokoh
Kakek dalam cerpen Robohnya Surau Kami.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi
A.A Navis
A.A Navis lahir di Padang 17 November 1924 Padang Panjang, Sumatera
Barat. A.A Navis memulai pendidikan formalnya di Sekolah Indonesisch Nederiandsch
School (INS) Kayutanam selama 11 tahun. Nama lengkapnya adalah Ali Akbar Navis. Ia
pernah menjadi kepala bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera
Tengah di Bukit Tinggi (1952-1955), Pemimpin redaksi harian Semangat di Padang (1971-1982), dan
menjadi Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam.
Navis memulai kariernya sebagai penulis ketika usia tiga puluhan.
Awalnya ia sudah aktif menulis sejak tahun 1950, namun kepenulisannya baru
diakui pada tahun 1955 sejak cerpennya dimuat dalam beberapa majalah; Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan, Roman. Navis juga menulis naskah
sandiwara untuk beberapa stasiun RRI, seperti di Bukit Tinggi, Palembang, juga
Makassar.
Navis dikenal sebagai sastrawan yang minatnya terhadap masalah-masalah
keagamaan, dan cenderung pada segi-segi sosial dan moral. Karyanya yang
terkenal yaitu cerpen Robohnya Surau Kami,
dan dijadikan judul untuk buku kumpulan cerpennya (1956). Kumpulan karyanya
yang lain yaitu cerpen Hujan Panas
(1964), Bianglala (1963), Kemarau (1967), si Gadis dalam Sunyi (1970), Dermaga
dalam Empat Sekoci (1975), Di
Lintasan Mendung (1983), Alam
Terkembang jadi Guru (1984), dan Jodoh
(1998).
Banyak penghargaan yang diraihnya, antara lain: Hadiah Seni dari Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988), Lencana Kebudayaan dari Universitas
Andalas Padang (1989), Lencana Jasawan di Bidang Seni dan Budaya dari Gubernur
Sumatera Barat (1990), Hadiah Sastra dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(1992), Hadiah Sastra ASEAN/SEA Write Award (1994), Anugerah Buku Utama dari UNESCO/IKAPI (1999),
dan Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
2.2 Sinopsis
Robohnya Surau Kami
Robohnya urau Kami mengisahkan
tentang seorang kakek sebagai garin
di sebuah surau yang senantiasa melakukan ibadah dan mendekatkan diri pada
Allah, sampai-sampai, ia rela meninggalkan keluarga juga pekerjaannya demi
keinginannya untuk mencapai kesempurnaan beribadah dan dapat jaminan masuk
surga. Namun, pada suatu hari sang kakek membuat geger warga karena ditemukan
telah meninggal dengan keadaan yang sangat mengenaskan.
Tidak ada yang menduga akan hal itu, kejadian itu pun dikaitkan dengan
perlakuan Ajo Sidi pada kakek sebelum kakek meninggal. Karena cerita bualan Ajo
Sidi maka kakek meninggal, meninggal dengan kondisi mengenaskan dengan gorokan
di lehernya, meninggal karena bunuh diri.
Cerita bualan seperti apa yang membuat jiwa kakek tergoncang hingga
akhirnya sang kakek memutuskan untuk mengakhiri hidupnya? Dan benarkah Ajo Sidi
yang menjadi penyebab utama atas cerita bualannya itu? Cerita bualannya yaitu
penggambaran akhirat dimana ada seorang warga negara Indonesia bernama Haji
Saleh yang sedang diadili oleh Tuhan. Haji Saleh selama hidupnya hanya
beribadah dan beribadah namun bukan surga imbalannya selama ini, melainkan
mendapati tempat terakhir di neraka.
Dalam dialognya dengan Tuhan, Haji Saleh senantiasa menyatakan bahwa
dirinya selalu beribadah, memuji kebesaran-Nya, bahkan sampai rela meninggalkan
keluarga dan tiak bekerja demi beribadat pada Allah. Namun, Tuhan memberikan
pernyataan bahwa apa yng dilakukannya selama ini sama sekali tidak ada guna
atau sia-sia. Lantaran yang dilakukan hanya beribadah semata tanpa mengamalkan
perbuatan lain yang memang wajib pula untuk dijalankan.
Dari cerita itu, Kakek merasa cerita itu merupakan bentuk sindiran dan
merasa bahwa apa yang dialami Haji Saleh akan menimpa dirinya juga, karena apa
yang dilakukan kakek selama ini sama dengan yang dilakukan Haji saleh. Oleh
sebab itu, jiwa kakek jai terguncang dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya
alias bunuh diri.
2.3 Unsur
Intrinsik Cerpen Robohnya Surau Kami
2.3.1 Tema
Tema (themes) menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966:88) adalah makna
yang terkandung oleh sebuah cerita. Jadi, maksudnya adalah inti dari isi
cerita, menceritakan akan hal apa dan bagaimana fokus kisah yang disajikan.[4]
Tema
dalam cerita ini ialah tentang permasalahan kejiwaan atau konflik batin seorang
kakek garin sebuah surau setelah
mendengar bualan Ajo sidi. Hal ini terdapat dalam kutipan:
“Tidak,
kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu
sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar
kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal
engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan
mereka sedikitpun.”[5]
Dalam kutipan tersebut merupakan salah satu kutipan
dari cerita bualan Ajo Sidi yang dalam ceritanya menggambarkan dialog antara
Tuhan dan Hamba-Nya, Haji Saleh, yang sedang diadili untuk ditentukan antara
masuk surga atau neraka. Hal itu membuat terguncangnya jiwa kakek karena apa
yang diceritakan sama dengan kenyataan yang ada pada dirinya.
2.3.2
Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pemain atau lakon
dalam suatu cerita. Dilihat dari segi peranan, ada yang disebut sebagai tokoh
utama, yaitu tokoh yang tergolong penting dan mendominasi dalam cerita atau
karya sastra. Ada pultokoh tambahan, yaitu sebaliknya dari tokoh utama.
Dari
segi penampilan tokoh dapat dibedakan menjadi protagonis dan antagonis. Tokoh
protagonis adalah tokoh yang biasanya menjadi idola atau dikagumi, karena
memiliki nilai-nilai yang ideal. Sedangkan tokoh antagonis yaitu sebaliknya
atau lawan dari tokoh protagonis.
Istilah penokohan lebih luas dari
tokoh dan perwatakan, karena mencakup masalah tokoh cerita, perwatakan, dan
bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam suatu cerita. Sehingga dapat
memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
Tokoh dalam cerita Robohnya Surau Kami yaitu:
· Kakek,
seorang garin surau yang lebih
dikenal sebagai pengasah pisau, seorang
yang taat ibadah dan menghabiskan waktu hanya untuk beribadat dan beribadat
tanpa memikirkan keluarganya dan menafkahinya. Pada dasarnya kakek merupakan
tokoh yang baik, taaat ibadah, penolong atau senang membantu orang lain tanpa
pamrih, namun rapuh jiwanya, lantaran hanya karena mendengar cerita bualan
jiwanya langsung terguncang.
“Tapi sebagai garin ia tak begitu
dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan
pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah
menerima imbalan apa-apa....” [6]
Kutipan
tersebut menerangkan bahwa kakek lebih dikenal sebagai pengasah pisau dari pada
garin, dan senang membantu meskipun
tanpa pamrih.
“Sedari muda aku di sini bukan? Tak
kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu?
Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin carikaya, bikin rumah. Segala
kehidupanku lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala.”[7]
Kutipan
tersebut menyatakan tokoh kakek yang rajin beribadah, namun ada kesalahan dalam
pemahamannya perihal beribadat, ia sampai meninggalkan keluarga dan tidak
bekerja demi beribadat yang padahal apa yang dilakukannya tidaklah ddapat
dibenarkan.
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan
mati di Suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya
dengan pisau cukur.”[8]
Kutipan
tersebut menerangkan bahwa jiwa kakek terguncang yang kemungkinan besar karena
cerita bualan Ajo Sidi, kakek memilih mengakhiri hidupnya atau bunuh diri.
· Ajo
Sidi, pembual ulung, namun bualan-bualannya selalu menarik perhatian orang,
menarik untuk didengarkan.
“Aku senang mendengar bualannya.
Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya setiap hari.”[9]
· “Aku”
(sebagai pencerita dan tokoh di dalamnya)
Tokoh
aku di sini juga berperan sebagai pencerita tentang masa hidup kakek semasa di
surau singga meninggal. Memiliki sifat yang peduli, baik, juga perhatian.
“Tiba-tiba aku ingat lagi pada
Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan
tentang Kakek?” [10]
Kutipan
tersebut merupakan pertanyaan tokoh “Aku” dengan dirinya sendiri tentang Kakek,
ia merasa khawatir dan peduli terhadap apa yang terjadi pada Kakek.
· Haji
saleh. Tokoh ini ada di dalam cerita bualan Ajo Sidi, memiliki sifat terlalu
percaya diri, angkuh, dan mementingkan diri sendiri.
2.3.3
Latar
Latar disebut juga landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa yang diceritakan.Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur
pokok yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latarpada
cerpen ini ada dua macam, yaitu: latar
tempat dan latar waktu.
a.
Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik.
Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan
sejenisnya. Untuk daerah dalam cerita ini yaitu daerah Minang atau Padang,
Sumatera Barat. Memang tidak ada penjelasan secara gemblang, namun ada yang
menunjukan kejadian di Padang. Buktinya ialah tokoh Ajo Sidi, di daerah Minang,
Ajo adalah panggilan sapaan untuk orang laki-laki, dapat bermakna abang, kakak,
atau mas. Ada pula pada tokoh Kakek,
ada istilah garin yang meliputi
panggilannya, garin di daerah Minang
ialah sebutan untuk pengurus masjid, musholah atau surau. Latar tempat yang ada
dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar,
di surau, dan sebagainya. Terdapat dalam kutipan:
“Kalau beberapa tahun
yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan
berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka
kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada
simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu.
Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada
kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.”[11]
b.
Latar Waktu
Latar
jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar
tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh
yang lainnya seperti berikut :
“Pada suatu waktu,”
kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang
sudah berpulang ….”[12]
“Jika tuan datang
sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang
bakal roboh ....”[13]
“Sekali hari aku
datang pula mengupah kepada kakek
“Sedari mudaku aku di
sini, bukan ?….”[14]
c. Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat,
kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di
dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
”Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan
temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya
dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garin, penjaga surau
itu. Orang-orang memanggilnya kakek”[15]
2.3.4
Alur (plot)
Alur diartikan
sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu
rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Adapun
struktur alur adalah bagian awal, bagian tengah, dan
bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti
berikut:
a.
Bagian Awal
Pada bagian awal
cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian
eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam
memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa
penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garin di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang
diungkapkan pada data berikut :
“Kalau beberapa tahun
yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui seorang tua yang
biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya
beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu.
Orang-orang memanggilnya kakek.”[16]
“Sebagai penjaga
surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya
sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil
pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang
mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih
dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu.
Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan
apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau
gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong,
memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum[17]
Dan yang kedua adalah sebagai
instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat
keterbukaan. Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka
dengan segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :
“Tapi kakek ini sudah
tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa
penjaganya ….”[18]
“Jika Tuan datang
sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang
bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya....[19]
Berdasarkan kutipan ini tampak jelas bahwa
yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka adalah karena informasi ini
belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan
bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu
pengembangan suatu cerita.
b.
Bagian Tengah
Meskipun
ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi
bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah
dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan
dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si
Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk
ini seperti berikut:
Dan biang keladi dari
kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.[20]
c.
Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita
ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan Kejutannya itu terletak
pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara
mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia
berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui
istrinya. Terdapat dalam kutipan:
‘Aku cari Ajo Sidi ke
rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah
pergi,” jawab istri Ajo Sidi.”
“Tidak ia tahu Kakek
meninggal ?”
“Sudah. Dan ia
meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,”
tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo
Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?” Tanyaku
mengulang hampa
“Ya. Dia pergi kerja.” [21]
Penyelesaian
yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi
orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha
menyuruh istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung
jawab? Lalu di mana salahnya?
Dalam
cerpen ini merupakan alur regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar
bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan.
Kalau beberapa tahun
yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di ujung
jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri surau
itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… [22]
Tapi kakek ini sudah
tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan
ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah
kisahnya[23]
2.3.5
Sudut
Pandang
Titik pengisahan yaitu
kedudukan/posisi pengarang dalam cerita tersebut. Maksudnya apakah, pengarang
ikut terlibat langsung dalam cerita itu atau hanya sebagai pengamat yang
berdiri di luar cerita.
Di dalam cerpen Robohnya Surau Kami pengarang memposisikan dirinya dalam
cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung
pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal
cerita. Buktinya:
“Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku
dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar….” [24]
2.3.6 Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah
cara pengarang mengungkapkan ceritanya melalui bahasa yang digunakan. Setiap
pengarang memiliki gaya masing-masing. Pada cerpen ini pengarang
menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam),
seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah,
Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga,
Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu,
kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga
Sedekah.
Majas yang digunakan
dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini cara
berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di
akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabola karena majas ini berisi
ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas
ini sangat dominan dalam cerpen ini. Selain majas alegori atau parabola,
pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan
yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak
dijaga lagi”.[25]
2.3.7 Amanat
Amanat adalah ajaran moral
atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Sebagaimana
tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan
ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada
tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara eksplisit
yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau
larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita. Jadi amanat adalah
gagasan yang mendasari karya sastra dan sekaligus pesan yang ingin disampaikan
pengararang kepada pembaca atau pendengar.
Amanat yang
hendak disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar yang
terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami
karya A.A. Navis adalah:
·
Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena
hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan
Tuhan itu. Dibuktikan pada:
“Alangkah
tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan
keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak
kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai
14 kali ke Mekkah….[26]
·
Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, dibuktikan pada
kutipan:
“…, kenapa engkau
biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta
bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau
lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku
beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja,
karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. …”[27]
·
Jangan mementingkan diri sendiri. Dibuktikan pada bagian:
”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu
mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat
bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan
kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya.”[28]
2.4
Konflik Psikis Tokoh
Kakek dalam Cerpen Robohnya Surau Kami Karya
A.A Navis
Psikologi
berasal dari kata Yunani psyche yang
berarti jiwa, dan logos yang berarti
ilmu. Jadi psikologi bearti ilmu jiwa yang menyelidiki dan mempelajari tingkah
laku manusia.[29]
Pendekatan
psikologis awal lebih dekat dengan pendekatan biografis dibandingkan dengan
pendekatan sosiologis. Sebab, analisis yang dilakukan cenderung memanfaatkan
data-data personal. Karya sastra dianggap sebagai aktivitas penulis, yang
sering dikaitkan dengan gejala-gejala kejiwaan seperti: obsesi, kontemplasi,
kompensasi, sublimasi, bahkan neurosis.
Pendekatan
psikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra
selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia. Manusia senantiasa
memperhatikan perilaku yang beragam. Bila ingin melihat dan mengenal manusia
lebih dalam dan lebih jauh diperlukan pendekatan psikologis.
Ada empat model
pendekatan psikologis menurut Rene Wellek dan Austin Warren, yaitu dikaitkan
dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra dan pembaca. Meskipun demikian,
pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu
pengarang, karya sastra, dan pembaca. Dengan pertimbangan bahwa pendekatan ini
lebih banyak berhubungan dengan karya sastra dan pengarang. Jika perhatian
ditujukan pada pengarang maka model penelitiannya lebih dekat dengan pendekatan
ekspresif, sebaliknya, apabila ditujukan pada karya sastra maka model
penelitiannya lebih dekat dengan pendekatan objektif.[30]
Psikologi
sastra dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis dalam kaitannya dengan
asal-usul karya, sama halnya dengan aspek-aspek lain seperti sosiologi sastra
juga antropologi sastra. Psikologi sastra dianalisis berdasarkan psike, dengan
aspek-aspek kejiwaan pengarang.
Psikologi
sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah-masalah psikologis, namun
secara defenitif tujuannya adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung
dalam suatu karya. Dan hal ini juga secara tidak langsung akan memberikan pemahaman
terhadap masyarakat. Pemahaman-pemahaman itu ialah pemahaman terhadap
tokoh-tokohnya, misalnya masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi,
permasalahan atau konflik yang dihadapi, dan penyimpangan-penyimpangan lain
yang terjadi khususnya dalam kaitannya dengan psike atau psikis.
Dalam
penulisan makalah ini, penulis memilih untuk membahas tentang konflik psikis
tokoh dalam cerpen Robohnya Surau Kami. Tokoh
yang diangkat ialah tokoh Kakek, seorang garin
Surau yang senantiasa beribadah dan mendekatkan diri pada Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Namun, ironisnya ia justru
menjadi seorang yang mementingkan diri sendiri demi menjadi ahli ibadah tanpa
memikirkan keluarga seperti menafkahi dan bekerja.
Selama
ini ia hidup dari sedekah yang dipungutnya, dan pemberian makanan dari warga
sekitar. Hubungannya dengan lingkungan sekitar cukup baik, sang kakek pun
senantiasa menolong warga sekitar untuk mengasah pisau atau gunting bahkan
tanpa pamrih, ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau.
Hal
yang menarik untuk dikaji yaitu psikis Kakek yang menyebabkan ia memutuskan
untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Ada konflik batin atau psikis yang
dialaminya. Diduga karena cerita bualan Ajo Sidi maka Kakek merasa apa yang
diceritakan merupakan gambaran dari dirinya.Dari cerpen ini jelas terlihat
bahwa Kakek yang mengaku ahli ibadah, kuat iman, senantiasa tawakal, bersabar
dan berbuat baik justru ada kerapuhan dalam jiwanya.
Ada
keguncangan yang luar biasa dalam jiwanya sehingga melakukan tindakan tersebut.
Permasalahan atau konflik ribadadiawali dari pertemuan Kakek dengan Ajo Sidi,
kemudian Ajo Sidi menceritakan gambaran negeri akhirat di mana terjadi dialog
antara Tuhan dengan hamba-Nya. Seorang hamba yang mengaku senantiasa taat
beribadah sampai-sampai meninggalkan segala urusan dunia yang justru ada
kewajiban yang harus dilakukannya ditinggalkan, demi kepentingan diri sendiri.
Beramal tanpa ilmu dan pemahaman yang shahih.
Kakek
merasa apa yang diceritakan sama dengan dirinya, sehingga membuat Kakek takut
dan merasa apa yang dilakukannya selama ini sia-sia. Apa yang diinginkannya
(yaitu memperoleh surga) tidak akan terjadi. Maka memutuskan untuk bunuh diri.
Dalam
bidang psikologi sosial dan kepribadian menyatakan suatu teori bunuh diri
dilakukan karena keinginan kuat untuk lari dari kesadaran diri yang
menyakitkan, yaitu kesadaran menyakitkan atas kegagalan dan kurangnya
keberhasilan yang diatribusikan orang yang bersangkutan pada dirinya.[31]
Kesadaran ini diasumsikan menimbulkan penderitaan emosional yang berat, seperti
depresi. Ekspektasi yang tidak realistis sehingga kemungkinan gagal memenuhi
ekpektasi tersebut.
Hal
itu pula yang dialami Kakek, ada depresi berat akibat bayangan yang mengerikan
tentang dirinya, hingga memilih lari atau mencari jalan keluar dengan melakukan
agresi pada diri sendiri dari apa yang dirasakan dan dipikirkannya. Ada konflik
yang dirasa pelik bagi sang Kakek. Dan yang menjadi sasran adalah Ajo Sidi,
karenanya Kakek meninggal, karenanya pula Kakek bunuh diri.
Ajo
Sidi dengan cerita bualannya membuat jiwa Kakek tertekan, dan beranggapan bahwa
ada kegagalan dalam dirinya, menyebabkan penderitaan yang mendalam, dan jika
terus begini maka akan semakin tersiksa, maka untuk melenyapkan penderitaan
tersebut, Kakek mencari solusi penyelesaian, yaitu dengan melenyapkan dirinya.
Ironis memang, seorang yang mengaku ahli ibadah semestinya tahu bahwa tindakan
bunuh diri merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dalam syari’at. Bukan
hanya dalam perspektif Islam.
Begitu
pula dalam perspektif psikologi, dalam pendekatan Shneidman terhadap bunuh
diri, berpendapat bahwa bunuh diri sebagai upaya sadar untuk mencari solusi
suatu masalah yang menyebabkan penderitaan mendalam. Bagi orang yang menderita,
s olusi ini merupakan solusi terbaik untuk keluar dari penderitaan.[32]
Hal
tersebut pula yang menjadi salah satu bukti bahwa ada kelemahan iman dalam diri
Kakek, ada kelemahan jiwa atau psikis dalam dirinya. Dan pendapat penulis dalam
hal ini yaitu ada nilai nyata dalam cerita bualan Ajo Sidi, ada kritik
religiusitas di dalamnya. Seorang ahli ibadah seharusnya tidak berlebihan
sampai meninggalkan apa yang semestinya menjadi kewajibannya, yaitu menafkahi
keluarga dan hal-hal lain yang justru juga merupakan perintah Allah Subhaahu wa
Ta’ala. Karena pemahaman Kakek yang dangkal pula maka ada kedangkalan psikis
dalam batin Kakek.
Beribadah
atau beramal mustilah dengan ilmu dan pemahaman yang benar. Jangan sampai salah
tafsir sehingga menjerumuskan diri sendiri. Bahkan mempengaruhi batin, psikis
atau jiwa karena jika memang paham akan nilai-nilai Islam maka tentu akan paham
pula tentang bunuh diri, membuat iman kuat dan jiwa tegar. Tidak ada kata jiwa
yang terguncang mengalahkan segalanya bahkan iman sekalipun.
BAB
III
SIMPULAN
·
Cerpen Robohnya
Surau Kami karya A.A Navis, banyak nilai yang diruangkan di dalamnya,dari
aspek religiusitas, sosial, konflik, bahkan aspek psikologis. Dalam penelitian
ini, peneliti memilih aspek psikologis dalam cerpen Robohnya Surau Kami,
·
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis ini memang sebuah
sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur
intrinsik
·
Konflik Psikis tokoh Kakek merupakan
penggambaran rapuhnya jiwa atau batin Kakek hingga memilih jalan yang tidak
dibenarkan yaitu dengan bunuh diri.
DAFTAR
PUSTAKA
Davison, Gerald C, dkk., Psikologi Abnormal. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2006.
Ikram,
Achdiati, dkk., Sejarah Kebudayaan
Indonesia, Bahasa, Sastra, dan Aksara. Jakarta: Rajawali Pers. Jakarta.
2009.
Minderop,
Albertine. Psikologi Sastra. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2011.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada Univerity Press. 2005.
Navis, Ali Akbar. Robohnya Surau Kami. Jakarta: PT Gramedia. 2010.
Ratna,
Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar