Jumat, 01 Maret 2013

KONFLIK PSIKIS TOKOH KAKEK DALAM CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI KARYA A.A NAVIS


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
           Sastra merupakan karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahan sastra adalah bahasa yang memiliki arti. Bahasa memiliki kedudukan dalam hubungannya dengan sastra, mempunyai sistem dan ko nvensi sendiri.
           Sastra menggambarkan kehidupan pada saat sastra itu ditulis. Sasra mengandung nilai-nilai kehidupan seperti nilai-nilai sosial, moral, religi, bahkan ideologi. Karya sastra akan memiliki daya pikat yang luar biasa bagi pembaca jika karya satra itu diciptakan dengan luar biasa pula, bagaimana pengarang melibatkan aspek kehidupan di dalamnya, mampu menuangkan imajinasinya yang dapat membawa pembaca ikut masuk dalam imajinasinya.
           Horace mengemukakan fungsi karya sastra sebagai dulce et utile, yaitu sebagai penghibur dan berguna[1]. Karya sastra memang menghibur, namun tidak hanya sekedar menghibur dan untuk hiburan semata tanpa ada manfaat yang dapat diraih. Untuk itu karya sastra juga dikatakan berguna. Banyak hal yang bisa didapat dari cerita-cerita yang dituangkan, dan dari berbagai aspek di dalamnya.
           Setiap manusia merupakan individu yang berbeda dengan individu lainnya. Ia mempunyai watak, temperamen, pengalaman, pandangan dan perasaan sendiri yang berbeda dengan lainnya. Namun demikian, manusia hidup tidak lepas dari manusia lain. Pertemuan antarmanusia yang satu dengan manusia yang lain tidak jarang menimbulkan konflik, baik konflik antara individu, kelompok maupun anggota kelompok serta antara anggota kelompok yang satu dan anggota kelompok lain. Karena sangat kompleksnya, manusia juga sering mengalami konflik dalam dirinya atau konflik batin sebagai reaksi terhadap situasi sosial di lingkungannya. Dengan kata lain, manusia selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup.
           Kejadian atau peristiwa yang terdapat dalam karya sastra dihidupkan oleh tokoh-tokoh sebagai pemegang peran atau pelaku alur. Melalui perilaku tokoh-tokoh yang ditampilkan inilah seorang pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan problem-problem atau konflik-konflik yang dihadapinya, baik konflik dengan orang lain, konflik dengan lingkungan, maupun konflik dengan dirinya sendiri.
           Karya sastra yang dihasilkan sastrawan selalu menampilkan tokoh yang memiliki karakter sehingga karya sastra juga menggambarkan kejiwaan manusia, walaupun pengarang hanya menampilkan tokoh itu secara fiksi. Dengan kenyataan tersebut, karya sastra selalu terlibat dalam segala aspek hidup dan kehidupan, tidak terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan dualisme yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas jiwa dan raga.
           Adapun dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A Navis, banyak nilai yang diruangkan di dalamnya, dari aspek religiusitas, sosial, konflik, bahkan aspek psikologis. Dalam penelitian ini, peneliti memilih aspek psikologis dalam cerpen Robohnya Surau Kami, aspek psikologis yang dibahas yaitu mengenai konflik psikis tokoh Kakek, bagaimana penggambaran tokoh kakek yang awalnya sebagai garin[2] yang taat beribadah, merasa tabah dan tegar, hingga pada akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis, dengan cara bunuh diri.
           Dalam psikologi, perilaku atau tindakan bunuh diri dilakukan karena keinginan kuat untuk lari dari kesadaran diri yang menyakitkan atas kegagalan dan kurangnya keberhasilan yang didistribusikan orang yang bersangkutan pada dirinya.[3] Hal ini pula yang dilakukan tokoh Kakek, bunuh diri karena merasa ada ketidakberhasilan dalam dirinya selama ini, berusaha menjadi seorang ahli ibadah namun merasa sia-sia dan akan menjadi umpan neraka kelak.
1.2  Rumusan Masalah
a.       Bagaimana sosok A.A Navis sebagai penulis cerpen Robohnya Surau Kami?
b.      Bagaimana unsur intrinsik yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami?
c.       Bagaimana konflik psikis yang dialami tokoh Kakek dalam menghadapi permasalahan yang dialaminya?
1.3  Tujuan
a.       Mendeskripsikan sosok A.A Navis sebagai penulis cerpen Robohnya Surau Kami
b.      Mendeskripsikan unsur intrinsik dalam cerpen Robohnya Surau Kami
c.       Mendeskripsikan konflik psikis yang dialami tokoh Kakek dalam cerpen Robohnya Surau Kami.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi A.A Navis
A.A Navis lahir di Padang 17 November 1924 Padang Panjang, Sumatera Barat. A.A Navis memulai pendidikan formalnya di Sekolah Indonesisch Nederiandsch School (INS) Kayutanam selama 11 tahun.  Nama lengkapnya adalah Ali Akbar Navis. Ia pernah menjadi kepala bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatera Tengah di Bukit Tinggi (1952-1955), Pemimpin redaksi harian Semangat di Padang (1971-1982), dan menjadi Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam.
Navis memulai kariernya sebagai penulis ketika usia tiga puluhan. Awalnya ia sudah aktif menulis sejak tahun 1950, namun kepenulisannya baru diakui pada tahun 1955 sejak cerpennya dimuat dalam beberapa majalah; Kisah, Mimbar Indonesia, Budaya, dan, Roman. Navis juga menulis naskah sandiwara untuk beberapa stasiun RRI, seperti di Bukit Tinggi, Palembang, juga Makassar.
Navis dikenal sebagai sastrawan yang minatnya terhadap masalah-masalah keagamaan, dan cenderung pada segi-segi sosial dan moral. Karyanya yang terkenal yaitu cerpen Robohnya Surau Kami, dan dijadikan judul untuk buku kumpulan cerpennya (1956). Kumpulan karyanya yang lain yaitu cerpen Hujan Panas (1964), Bianglala (1963), Kemarau (1967), si Gadis dalam Sunyi (1970), Dermaga dalam Empat Sekoci (1975), Di Lintasan Mendung (1983), Alam Terkembang jadi Guru (1984), dan Jodoh (1998).
Banyak penghargaan yang diraihnya, antara lain: Hadiah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1988), Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang (1989), Lencana Jasawan di Bidang Seni dan Budaya dari Gubernur Sumatera Barat (1990), Hadiah Sastra dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1992), Hadiah Sastra ASEAN/SEA Write Award (1994),  Anugerah Buku Utama dari UNESCO/IKAPI (1999), dan Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
2.2 Sinopsis Robohnya Surau Kami
Robohnya urau Kami mengisahkan tentang seorang kakek sebagai garin di sebuah surau yang senantiasa melakukan ibadah dan mendekatkan diri pada Allah, sampai-sampai, ia rela meninggalkan keluarga juga pekerjaannya demi keinginannya untuk mencapai kesempurnaan beribadah dan dapat jaminan masuk surga. Namun, pada suatu hari sang kakek membuat geger warga karena ditemukan telah meninggal dengan keadaan yang sangat mengenaskan.
Tidak ada yang menduga akan hal itu, kejadian itu pun dikaitkan dengan perlakuan Ajo Sidi pada kakek sebelum kakek meninggal. Karena cerita bualan Ajo Sidi maka kakek meninggal, meninggal dengan kondisi mengenaskan dengan gorokan di lehernya, meninggal karena bunuh diri.
Cerita bualan seperti apa yang membuat jiwa kakek tergoncang hingga akhirnya sang kakek memutuskan untuk mengakhiri hidupnya? Dan benarkah Ajo Sidi yang menjadi penyebab utama atas cerita bualannya itu? Cerita bualannya yaitu penggambaran akhirat dimana ada seorang warga negara Indonesia bernama Haji Saleh yang sedang diadili oleh Tuhan. Haji Saleh selama hidupnya hanya beribadah dan beribadah namun bukan surga imbalannya selama ini, melainkan mendapati tempat terakhir di neraka.
Dalam dialognya dengan Tuhan, Haji Saleh senantiasa menyatakan bahwa dirinya selalu beribadah, memuji kebesaran-Nya, bahkan sampai rela meninggalkan keluarga dan tiak bekerja demi beribadat pada Allah. Namun, Tuhan memberikan pernyataan bahwa apa yng dilakukannya selama ini sama sekali tidak ada guna atau sia-sia. Lantaran yang dilakukan hanya beribadah semata tanpa mengamalkan perbuatan lain yang memang wajib pula untuk dijalankan.
Dari cerita itu, Kakek merasa cerita itu merupakan bentuk sindiran dan merasa bahwa apa yang dialami Haji Saleh akan menimpa dirinya juga, karena apa yang dilakukan kakek selama ini sama dengan yang dilakukan Haji saleh. Oleh sebab itu, jiwa kakek jai terguncang dan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya alias bunuh diri.

2.3 Unsur Intrinsik Cerpen Robohnya Surau Kami
2.3.1 Tema
Tema (themes) menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966:88) adalah makna yang terkandung oleh sebuah cerita. Jadi, maksudnya adalah inti dari isi cerita, menceritakan akan hal apa dan bagaimana fokus kisah yang disajikan.[4]
            Tema dalam cerita ini ialah tentang permasalahan kejiwaan atau konflik batin seorang kakek garin sebuah surau setelah mendengar bualan Ajo sidi. Hal ini terdapat dalam kutipan:
 “Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”[5]
Dalam kutipan tersebut merupakan salah satu kutipan dari cerita bualan Ajo Sidi yang dalam ceritanya menggambarkan dialog antara Tuhan dan Hamba-Nya, Haji Saleh, yang sedang diadili untuk ditentukan antara masuk surga atau neraka. Hal itu membuat terguncangnya jiwa kakek karena apa yang diceritakan sama dengan kenyataan yang ada pada dirinya.
2.3.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pemain atau lakon dalam suatu cerita. Dilihat dari segi peranan, ada yang disebut sebagai tokoh utama, yaitu tokoh yang tergolong penting dan mendominasi dalam cerita atau karya sastra. Ada pultokoh tambahan, yaitu sebaliknya dari tokoh utama.

      Dari segi penampilan tokoh dapat dibedakan menjadi protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang biasanya menjadi idola atau dikagumi, karena memiliki nilai-nilai yang ideal. Sedangkan tokoh antagonis yaitu sebaliknya atau lawan dari tokoh protagonis.
Istilah penokohan lebih luas dari tokoh dan perwatakan, karena mencakup masalah tokoh cerita, perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam suatu cerita. Sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
Tokoh dalam cerita Robohnya Surau Kami yaitu:
·      Kakek, seorang garin surau yang lebih dikenal sebagai pengasah  pisau, seorang yang taat ibadah dan menghabiskan waktu hanya untuk beribadat dan beribadat tanpa memikirkan keluarganya dan menafkahinya. Pada dasarnya kakek merupakan tokoh yang baik, taaat ibadah, penolong atau senang membantu orang lain tanpa pamrih, namun rapuh jiwanya, lantaran hanya karena mendengar cerita bualan jiwanya langsung terguncang.
“Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah menerima imbalan apa-apa....” [6]
Kutipan tersebut menerangkan bahwa kakek lebih dikenal sebagai pengasah pisau dari pada garin, dan senang membantu meskipun tanpa pamrih.
“Sedari muda aku di sini bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin carikaya, bikin rumah. Segala kehidupanku lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala.”[7]
Kutipan tersebut menyatakan tokoh kakek yang rajin beribadah, namun ada kesalahan dalam pemahamannya perihal beribadat, ia sampai meninggalkan keluarga dan tidak bekerja demi beribadat yang padahal apa yang dilakukannya tidaklah ddapat dibenarkan.
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di Suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”[8]
Kutipan tersebut menerangkan bahwa jiwa kakek terguncang yang kemungkinan besar karena cerita bualan Ajo Sidi, kakek memilih mengakhiri hidupnya atau bunuh diri.
·      Ajo Sidi, pembual ulung, namun bualan-bualannya selalu menarik perhatian orang, menarik untuk didengarkan.
“Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya setiap hari.”[9]
·      “Aku” (sebagai pencerita dan tokoh di dalamnya)
Tokoh aku di sini juga berperan sebagai pencerita tentang masa hidup kakek semasa di surau singga meninggal. Memiliki sifat yang peduli, baik, juga perhatian.
“Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek?” [10]
Kutipan tersebut merupakan pertanyaan tokoh “Aku” dengan dirinya sendiri tentang Kakek, ia merasa khawatir dan peduli terhadap apa yang terjadi pada Kakek.
·      Haji saleh. Tokoh ini ada di dalam cerita bualan Ajo Sidi, memiliki sifat terlalu percaya diri, angkuh, dan mementingkan diri sendiri.
2.3.3     Latar
Latar disebut juga landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan.Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latarpada cerpen  ini ada dua macam, yaitu: latar tempat dan latar waktu.
a.      Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Untuk daerah dalam cerita ini yaitu daerah Minang atau Padang, Sumatera Barat. Memang tidak ada penjelasan secara gemblang, namun ada yang menunjukan kejadian di Padang. Buktinya ialah tokoh Ajo Sidi, di daerah Minang, Ajo adalah panggilan sapaan untuk orang laki-laki, dapat bermakna abang, kakak, atau mas. Ada pula pada tokoh Kakek, ada istilah garin yang meliputi panggilannya, garin di daerah Minang ialah sebutan untuk pengurus masjid, musholah atau surau. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya. Terdapat dalam kutipan:
“Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.”[11]
b.      Latar Waktu
            Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….”[12]
“Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh ....”[13]
“Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek
“Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….”[14]
c.       Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
”Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek”[15]
2.3.4        Alur (plot)
      Alur diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur.  Adapun struktur alur adalah bagian awal, bagian tengah, dan bagian  akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti berikut:
a.   Bagian Awal
            Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garin di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut :
“Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.”[16]
“Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum[17]
           Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan. Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :
“Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya ….”[18]
“Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya....[19]
            Berdasarkan kutipan ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.
b.      Bagian Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:
Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.[20]
c.       Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya. Terdapat dalam kutipan:
‘Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.”
“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa
“Ya. Dia pergi kerja.” [21]
            Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab? Lalu di mana salahnya?
            Dalam cerpen ini merupakan alur regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… [22]
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya[23]
2.3.5     Sudut Pandang
           Titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita itu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
           Di dalam cerpen Robohnya Surau Kami pengarang memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita. Buktinya:
“Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar….” [24]
2.3.6 Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara pengarang mengungkapkan ceritanya melalui bahasa yang digunakan. Setiap pengarang memiliki gaya masing-masing. Pada cerpen ini pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabola karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini. Selain majas alegori atau parabola, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang,  yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi”.[25]
2.3.7 Amanat
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita. Jadi amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra dan sekaligus pesan yang ingin disampaikan pengararang kepada pembaca atau pendengar.
Amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar  yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah:
·            Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu. Dibuktikan pada:
“Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke Mekkah….[26]
·            Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, dibuktikan pada kutipan:
“…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. …”[27]
·            Jangan mementingkan diri sendiri. Dibuktikan pada bagian:
”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya.”[28]





















2.4     Konflik Psikis Tokoh Kakek dalam Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A Navis
            Psikologi berasal dari kata Yunani psyche yang berarti jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Jadi psikologi bearti ilmu jiwa yang menyelidiki dan mempelajari tingkah laku manusia.[29]
            Pendekatan psikologis awal lebih dekat dengan pendekatan biografis dibandingkan dengan pendekatan sosiologis. Sebab, analisis yang dilakukan cenderung memanfaatkan data-data personal. Karya sastra dianggap sebagai aktivitas penulis, yang sering dikaitkan dengan gejala-gejala kejiwaan seperti: obsesi, kontemplasi, kompensasi, sublimasi, bahkan neurosis.
            Pendekatan psikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang peristiwa kehidupan manusia. Manusia senantiasa memperhatikan perilaku yang beragam. Bila ingin melihat dan mengenal manusia lebih dalam dan lebih jauh diperlukan pendekatan psikologis.
            Ada empat model pendekatan psikologis menurut Rene Wellek dan Austin Warren, yaitu dikaitkan dengan pengarang, proses kreatif, karya sastra dan pembaca. Meskipun demikian, pendekatan psikologis pada dasarnya berhubungan dengan tiga gejala utama, yaitu pengarang, karya sastra, dan pembaca. Dengan pertimbangan bahwa pendekatan ini lebih banyak berhubungan dengan karya sastra dan pengarang. Jika perhatian ditujukan pada pengarang maka model penelitiannya lebih dekat dengan pendekatan ekspresif, sebaliknya, apabila ditujukan pada karya sastra maka model penelitiannya lebih dekat dengan pendekatan objektif.[30]
            Psikologi sastra dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis dalam kaitannya dengan asal-usul karya, sama halnya dengan aspek-aspek lain seperti sosiologi sastra juga antropologi sastra. Psikologi sastra dianalisis berdasarkan psike, dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang.
            Psikologi sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah-masalah psikologis, namun secara defenitif tujuannya adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Dan hal ini juga secara tidak langsung akan memberikan pemahaman terhadap masyarakat. Pemahaman-pemahaman itu ialah pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, permasalahan atau konflik yang dihadapi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi khususnya dalam kaitannya dengan psike atau psikis.
            Dalam penulisan makalah ini, penulis memilih untuk membahas tentang konflik psikis tokoh dalam cerpen Robohnya Surau Kami. Tokoh yang diangkat ialah tokoh Kakek, seorang garin Surau yang senantiasa beribadah dan mendekatkan diri pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.  Namun, ironisnya ia justru menjadi seorang yang mementingkan diri sendiri demi menjadi ahli ibadah tanpa memikirkan keluarga seperti menafkahi dan bekerja.
            Selama ini ia hidup dari sedekah yang dipungutnya, dan pemberian makanan dari warga sekitar. Hubungannya dengan lingkungan sekitar cukup baik, sang kakek pun senantiasa menolong warga sekitar untuk mengasah pisau atau gunting bahkan tanpa pamrih, ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau.
            Hal yang menarik untuk dikaji yaitu psikis Kakek yang menyebabkan ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Ada konflik batin atau psikis yang dialaminya. Diduga karena cerita bualan Ajo Sidi maka Kakek merasa apa yang diceritakan merupakan gambaran dari dirinya.Dari cerpen ini jelas terlihat bahwa Kakek yang mengaku ahli ibadah, kuat iman, senantiasa tawakal, bersabar dan berbuat baik justru ada kerapuhan dalam jiwanya.
            Ada keguncangan yang luar biasa dalam jiwanya sehingga melakukan tindakan tersebut. Permasalahan atau konflik ribadadiawali dari pertemuan Kakek dengan Ajo Sidi, kemudian Ajo Sidi menceritakan gambaran negeri akhirat di mana terjadi dialog antara Tuhan dengan hamba-Nya. Seorang hamba yang mengaku senantiasa taat beribadah sampai-sampai meninggalkan segala urusan dunia yang justru ada kewajiban yang harus dilakukannya ditinggalkan, demi kepentingan diri sendiri. Beramal tanpa ilmu dan pemahaman yang shahih.
            Kakek merasa apa yang diceritakan sama dengan dirinya, sehingga membuat Kakek takut dan merasa apa yang dilakukannya selama ini sia-sia. Apa yang diinginkannya (yaitu memperoleh surga) tidak akan terjadi. Maka memutuskan untuk bunuh diri.
            Dalam bidang psikologi sosial dan kepribadian menyatakan suatu teori bunuh diri dilakukan karena keinginan kuat untuk lari dari kesadaran diri yang menyakitkan, yaitu kesadaran menyakitkan atas kegagalan dan kurangnya keberhasilan yang diatribusikan orang yang bersangkutan pada dirinya.[31] Kesadaran ini diasumsikan menimbulkan penderitaan emosional yang berat, seperti depresi. Ekspektasi yang tidak realistis sehingga kemungkinan gagal memenuhi ekpektasi tersebut.
            Hal itu pula yang dialami Kakek, ada depresi berat akibat bayangan yang mengerikan tentang dirinya, hingga memilih lari atau mencari jalan keluar dengan melakukan agresi pada diri sendiri dari apa yang dirasakan dan dipikirkannya. Ada konflik yang dirasa pelik bagi sang Kakek. Dan yang menjadi sasran adalah Ajo Sidi, karenanya Kakek meninggal, karenanya pula Kakek bunuh diri.
            Ajo Sidi dengan cerita bualannya membuat jiwa Kakek tertekan, dan beranggapan bahwa ada kegagalan dalam dirinya, menyebabkan penderitaan yang mendalam, dan jika terus begini maka akan semakin tersiksa, maka untuk melenyapkan penderitaan tersebut, Kakek mencari solusi penyelesaian, yaitu dengan melenyapkan dirinya. Ironis memang, seorang yang mengaku ahli ibadah semestinya tahu bahwa tindakan bunuh diri merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dalam syari’at. Bukan hanya dalam perspektif Islam. 
            Begitu pula dalam perspektif psikologi, dalam pendekatan Shneidman terhadap bunuh diri, berpendapat bahwa bunuh diri sebagai upaya sadar untuk mencari solusi suatu masalah yang menyebabkan penderitaan mendalam. Bagi orang yang menderita, s olusi ini merupakan solusi terbaik untuk keluar dari penderitaan.[32]
            Hal tersebut pula yang menjadi salah satu bukti bahwa ada kelemahan iman dalam diri Kakek, ada kelemahan jiwa atau psikis dalam dirinya. Dan pendapat penulis dalam hal ini yaitu ada nilai nyata dalam cerita bualan Ajo Sidi, ada kritik religiusitas di dalamnya. Seorang ahli ibadah seharusnya tidak berlebihan sampai meninggalkan apa yang semestinya menjadi kewajibannya, yaitu menafkahi keluarga dan hal-hal lain yang justru juga merupakan perintah Allah Subhaahu wa Ta’ala. Karena pemahaman Kakek yang dangkal pula maka ada kedangkalan psikis dalam batin Kakek.
            Beribadah atau beramal mustilah dengan ilmu dan pemahaman yang benar. Jangan sampai salah tafsir sehingga menjerumuskan diri sendiri. Bahkan mempengaruhi batin, psikis atau jiwa karena jika memang paham akan nilai-nilai Islam maka tentu akan paham pula tentang bunuh diri, membuat iman kuat dan jiwa tegar. Tidak ada kata jiwa yang terguncang mengalahkan segalanya bahkan iman sekalipun.
           

BAB III
SIMPULAN

·         Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A Navis, banyak nilai yang diruangkan di dalamnya,dari aspek religiusitas, sosial, konflik, bahkan aspek psikologis. Dalam penelitian ini, peneliti memilih aspek psikologis dalam cerpen Robohnya Surau Kami,
·         Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik
·         Konflik Psikis tokoh Kakek merupakan penggambaran rapuhnya jiwa atau batin Kakek hingga memilih jalan yang tidak dibenarkan yaitu dengan bunuh diri.
  



DAFTAR PUSTAKA

Davison, Gerald C, dkk., Psikologi Abnormal. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2006.
Ikram, Achdiati, dkk., Sejarah Kebudayaan Indonesia, Bahasa, Sastra, dan Aksara. Jakarta: Rajawali Pers. Jakarta. 2009.
Minderop, Albertine. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2011.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Univerity Press. 2005.
Navis, Ali Akbar. Robohnya Surau Kami. Jakarta: PT Gramedia. 2010.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008.



                [1]  Achdiati Ikram, dkk., Sejarah Kebudayaan Indonesia, Bahasa, Sastra, dan Aksara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm.33
                [2] Garin diambil dari bahasa Minang yang bearti pengurus atau penjaga surau, atau dikenal dengan istilah marbot mushollah atau masjid.
                [3]Baumeister, 1990 dalam Gerald C. Davison, dkk. Psikologi Abnormal. (Rajawali Pers: Jakarta. 2004), hlm.427
                [4] Burhan Nurgiyantoro. Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005), hlm.67
                [5] A.A Navis. Robohnya Surau Kami. (Jakarta: PT Gramedia Utama. 2010), hlm.12
                [6] Ibid. hlm.2
                [7] Ibid. hlm.5
                [8] Ibid  hlm.13
                [9] Ibid. hlm 3
                [10] Ibid. hlm. 3-4  
                [11]  Ibid. hlm.1
                [12] Ibid. hlm.6
                [13] Ibid. hlm.1
                [14] Ibid. hlm.5
                [15]Ibid. hlm  1
                [16]  Ibid.  hlm 1.
                [17]  Ibid. hlm.7
                [18] Ibid.  hlm 2
                [19] Ibid. hlm 8
                [20] Ibid. hlm.8
                [21] Ibid  hlm 13
                [22] Ibid. hlm.1
                [23] Ibid. hlm.2
                [24] Ibid. hlm 1
                [25] Ibid. hlm .2
                [26] Ibid. hlm 8.
                [27] Ibid. hlm. 11-12
                [28] Ibid. hlm 12.
                [29] Atkinson, 1996:7 dalam  Psikologi sastra, Albertine Minderop (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2011) , hlm 3.
                [30] Nyoman Kutha Ratna. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007), hlm.61
                [31] Baumeister, 1990 dalam Gerald C. Davison, dkk. Psikologi Abnormal. (Rajawali Pers: Jakarta. 2004), hlm.427
                [32] Gerald C. Davison, dkk. Psikologi Abnormal. (Rajawali Pers: Jakarta. 2004), hlm.430

Tidak ada komentar:

Posting Komentar